Fraksi PKS – PAN Ungkap Tabir Dibalik Status Puskesmas Maruwei
Kadiskes Mura dr.Suriasiri : Belum Saya Usulkan Perubahan Namanya
Wakil Kepala Puskesmas Maruwei, Mariati : Sepertinya SK masih belum keluar pak, saya pun SK masih belum keluar
Puruk Cahu – forumhukum.id – Usai melakukan kunjungan ke beberapa desa, dua fraksi anggota DPRD Murung Raya menyempatkan diri menyambangi Puskesmas Maruwei di Desa Maruwei 1, Kecamatan Laung Tuhup, Kabupaten Murung Raya Provinsi Kalimantan Tengah, Senin (22/8) lalu
Kedatangan mereka di Puskesmas Maruwei sehubungan sebelumnya telah meninjau kondisi bangunan Eks Puskesmas Batu Bua yang sudah di relokasi dari Kelurahan Batu Bua sejak tahun 2020.
Kedua anggota DPRD Murung Raya itu, H. Barlin, SE selaku Komisi II dari Fraksi PKS dan Ketua Komisi III dari Fraksi PAN Ahmad Tafruji. Mereka berdua diterima di ruang kerja Wakil Kepala Puskesmas Maruwei yang juga kepala bagian tata usaha, Mariati.
Ahmad Tafruji membuka tanya jawab seputar kegiatan pelayanan kesehatan di Puskesmas Maruwei sekaligus status kerja pegawai sehubungan tata kelola administrasi di Puskesmas Maruwei masih menggunakan nomenklatur (tata nama) Puskesmas Batu Bua.
Mariati menerangkan seputar aktifitas layanan kesehatan Puskesmas Maruewi kepada lapisan masyarakat, baik di Desa Maruwei dan sekitarnya berjalan normatif.
“Setiap desa ada pustunya, biasanya mereka berobat di pustu dulu. Bila tidak dapat ditangani baru dirujuk ke puskesmas. Dan bila tidak dapat dilayani di puskesmas maka dirujuk ke rumah sakit di Puruk Cahu,” terang Kabag Tata Usaha itu memulai keteranganya.
“Untuk pengunjung yang berobat di Puskesmas Maruwei, sehari bisa 3 hingga 5 pasien” tutur Mariati dengan simple.
Soal status kerja baik ASN atau Honorer di Puskesmas Maruwei, Kabag Tata Usaha ungkapkan terkait hal tersebut.
Diterangkan Mariati, sejak bertugas di awal januari 2020 hingga kini, berjalan 2 tahun lebih, SK Penetapan penempatan tugas masih belum di terbitkan, hingga kini status tugas kerjanya masih SK Pustu Maruwei I tempat semula dirinya bertugas. Sama halnya dengan petugas Puskesmas Maruwei lainya masih menggunakan S.K sesuai asal tempat kerjanya.
“Sepertinya SK masih belum keluar pak, saya pun SK masih belum keluar,” ungkap Mariati apa adanya.
Tambah Mariati, seperti yang pernah dilontarkan oleh Kadiskes Mura dr. Suriasiri beberapa waktu lalu.
“Langsung gitu aja dulu bilang pak surya (Sapaan akrab Kadiskes Mura), kalau mereka yang mau ngurus SK perpindahan misalnya dari Bondang ke Puskesmas enggak usah aja dulu oleh masih sama satu wilayah,” ungkap Mariati di depan dua orang wakil rakyat DPRD Murung Raya di ruang kerjanya.
Anggota Fraksi PKS, H Barlin juga mempertanyakan lama bekerja dan apakah sampai sekarang belum ada SK yang dari batu bua ya ?
“Dua tahun lebih pak, 2020 awal januari sudah mulai di sini pak. Untuk SK belum, kayanya belum keluar pak,” jawab Mariati.
“Karna belum defenitif,” sela awak media yang meliput bincang mereka kala itu langsung di sambut oleh Bu Mariati “ iya belum defenitif pak ,inikan masih UPT, jadi masih belum tetap pak ya ..”
“Masih UPT, Makanya SK penetapan puskesmasnya aja belum ada.
Mutasi itu masih belum defenitif ya bu tanya awak media disela tanya jawab “Masih belum jelas, tidak ada suratnya “ ungkap Mariati kembali dengan simpel dan apa adanya.
Lebih jauh, Fraksi PKS tanyakan yang memerintahkan membawa semua aset yang ada di Puskesmas Batu Bua. Mariati sebutkan terkait dengan hal tersebut dirinya tidak mengetahui sampai sejau itu.
“Saya tidak tau ya pak, tapi kepala puskesmas yang dulu pak Patul Maulana memang disuruh pindah, jadi angkut semua barang dari sana menyangkut hal lainnya saya enggk tau, saya hanya mengikuti saja,“ jawab wakil Puskesmas Maruwei di penghujung tanya jawabnya dengan anggota DPRD Murung Raya.
Berawal tanya jawab kedua anggota DPRD Murung Raya dengan Mariati perlahan tabir status operasional Puskesmas Maruwei mulai tersingkap, terindikasi berkorelasi dengan relokasi Puskesmas Batu Bua.
Selasa (23/8) ditemui diruang kerjanya Kadiskes Murung Raya, dr. Suriasiri memaparkan hal ikhwal relokasi puskesmas batu bua tahun 2020.
Menurut Kadiskes Mura, di Batu Bua itu memang sudah tidak layak di bangun puskesmas, mengingat akses jalan tidak ada.
“Membawa pasien mesti pakai tandu jalan kaki dari jembatan terus naik ke atas menuju puskesmas, Kalo seperti itu bukan tipe puskesmas,” ungkap Surya.
“Yang kita inginkan adanya akses jalan yang untuk transportasi ambulance membawa pasien,” imbuhnya kemudian
“Saat dana sudah tersedia, namun lahan belum siap. Tetapi, lahan itu bisa saja ada, namun pertimbangan lainya tidak memiliki akses jalan sehingga alternatif waktu itu di Maruwei ada tersedia lahan yang strategis berada di pinggiran jalan sehingga keputusan pembangunan dilaksanakan di Maruwei,” pungkas Kadiskes saat itu.
Sehari kemudian, Rabu (24/8) konfirmasi dilanjutkan via Whatsapp awak media forumhukum.id mengkonfirmasikan perubahan izin operasional dan registrasi Puskesmas Maruwei yang masih tetap menggunakan dalam keadministrasian tata nama (nomenklatur) Batu Bua.
Serangkaian isi Whatsapp ( rebu,24/8 ) kadiskes akui bahwa nomenklatur belum dilakukan perubahan ke Kementerian.
“Nomenklaturnya masih batu buah (bua-red),” jawab Surya dalam whatsappnya.
Saat dikonfirmasi terkait Permenkes 43 tahun 2019 tentang puskesmas sesuai ketetapan pasal 33.
“Iya benar jadi semua layanan kesehatan UPT dari Dinkes,” terang surya lagi dalam whatsappnya.
Awak media menunjukkan dalam whatsapp beberapa foto yang menunjukan adanya nomenklatur UPT Puskesmas Batu Bua. Melalui whatsapp, Surya kembali membalas “Ya nanti kita ubah nomenklaturnya,”
Artinya pemenuhan pasal 33 belum terimplementasi ya dok? tanya awak media kemudian.
“Nomenklaturnya aja kita ubah apakah nanti menyesuaikan dengan kecamatan baru atau sesuai tempat sekarang. Tapi wilayah kerjanya semua desa yang ada sebelumnya pak termasuk batu buah (bua),” jawab kadiskes via whatsappnya.
Kembali awak media mempertegas terkait ketentuan pasal 33 yang harus juga memenuhi ketentuan pasal 32, Permenkes 43/2019 tentang Puskesmas.
Keterangan kadiskes kembali ke keterangan semula “Namanya aja yang segera kita usulkan ke kementerian supaya nanti nya perubahan nama dari Puskesmas Batu Buah (Batu Bua) ke nama puskesmas nantinya diajukan”.
Artinya belum diusulkan, tanya awak media memperoleh kepastian
“Belum saya usulkan perubahan namanya pak,” balas kadiskes singkat padat.
Plang puskesmas aja belum bisa dipasang, karena memang belum ada legal standingnya ya dok ? Tanya awak media menegaskan.
“Segera kita ajukan pak,” singkat jawaban kadiskes seraya kembali mengirim whatsapp susulannya.
“Sebentar aja pak biasanya kita ajukan akan keluar nomenklatur baru sesuai permintaan kita,” pungkas dr. Suryasiri mengakhiri komunikasi via whatsapp.
Berdasarkan keterangan dr. Suriasiri selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Murung Raya jelas menyebutkan bahwa Perubahan Izin Operasional sejak relokasi pada Januari tahun 2020 masih belum dilakukan pengajuanya. Sementara keharusan sebagaimana ketetapan Pasal 33 Permenkes Nomor 43 tahun 2019 tentang Puskesmas, berbunyi sebagai berikut ; “Dalam hal Puskesmas direlokasi atau berubah nama, alamat, dan kategori Puskesmas, kepala dinas kesehatan daerah kabupaten/kota harus mengajukan perubahan izin operasional dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dengan mencantumkan informasi perubahan”.
Perubahan izin operasional seharusnya sejak tahun 2020 saat relokasi, nama , alamat dan kategori puskesmas akan turut berubah, namun dua tahun lebih perubahan izin operasional tidak terimplementasi sesuai dengan keharusan yang diamanatkan dalam Permenkes Nomor 43 tahun 2019 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat.
Keterkaitan dengan hal tersebut, berdasarkan pasal 34 (Permenkes 43/2019 tentang Puskesmas) dengan kutipan bunyi ; “ Dalam hal Puskesmas tidak berfungsi lagi sebagai Puskesmas, kepala daerah kabupaten/kota harus melaporkan kepada Menteri dengan tembusan kepada kepala dinas kesehatan daerah provinsi.
Puskesmas Batu Bua sudah tidak berfungsi sebagai puskesmas, keharusan kepala daerah kabupaten/kota melaporkan hal tersebut ke – Kementerian dengan tembusan kepala dinas kesehatan propinsi. Namun kembali diduga kuat hal itu tidak dilaksanakan hingga dua tahun lebih.
Lebih lanjut dalam pasal 33 kembali dipertegas oleh pasal 35 ayat (5) dengan kutipan bunyi; “Dalam hal Puskesmas direlokasi atau berubah nama, alamat, dan kategori Puskesmas, kepala dinas kesehatan daerah kabupaten/kota harus melaporkan kepada Menteri dengan melampirkan dokumen pendukung untuk pemutakhiran data”.
Relokasi Puskesmas Batu Bua ke Desa Maruwei 1, dengan sendirinya nama, alamat dan kategori turut berubah, sehingga kepala dinas kesehatan harus melaporkan perihal tersebut kepada Menteri guna untuk dilakukan pendataan baru (pemutakhiran data).
Semua keharusan dalam ketetapan Menteri Kesehatan tersebut selama dua tahun lebih tidak terimplementasikan dengan sebagaimana mestinya, padahal sudah menjadi keharusan sesuai dengan tugas dan kewenangan.
Fraksi PKS kembali angkat bicara mengkritisi kebijakan yang mengabaikan kepentingan masyarakat.
Menurut H. Barlin, dirinya menduga pemindahan Puskesmas Batu Bua itu, hanya sebuah skenario yang sarat kepentingan. “Kami beberapa fraksi sudah menyimpulkan dari berbagai sumber di lapangan ,” tegasnya.
“Hanya berdalih lahan dan akses jalan tidak tersedia, sampai mengorbankan kepentingan masyarakat di Batu Bua ini yang jumlah penduduknya ribuan, belum lagi masyarakat dari desa desa tetangga yang dulunya datang berobat ke Puskesmas Batu Bua,” tegas legislator 2 periode itu.
“Lahan di Batu Bua ini bukanya tidak ada bila semua itu dimusyawarahkan dengan itikad yang baik sebagai abdi masyarakat yang mau peduli dengan kepentingan rakyat. Merelokasi puskesmas itu sama saja halnya menjauhkan hak asasi masyarakat Batu Bua ini untuk mendapat pelayanan kesehatan,” lanjut H.Barlin.
“Coba bayangkan di Kecamatan Muara Laung dan Kelurahan Muara Tuhup sudah ada puskesmas, Kenapa malah puskesmas Kelurahan Batu Bua justru dipindahkan mendekati kedua puskesmas yang sudah ada,” ungkap H. Barlin dengan penalaran logikanya.
Apakah hal seperti itu bisa diterima akal sehat “ tanyanya seraya menutup kritiknya.
Ketua Komisi III DPRD Murung Raya dari Fraksi PAN, Tafruji turut angkat bicara. Politikus 3 periode di kursi legislatif itu mengingatkan bahwa kebutuhan pelayanan kesehatan bisa dilihat dari jumlah penduduknya.
“Tingkat kebutuhan pelayanan kesehatan di Kelurahan Batu Bua itu lebih besar potensinya dari tingkat pelayanan kebutuhan kesehatan di Maruwei “ terang Tafruji melalui saluran telepon genggam pribadinya, Jumat (26/8).
Menurutnya, dari informasi yang didengarkan bahwa permasalahan utama yang disampaikan pihak Dinkes Murung Raya adalah ketersediakan lahan dan akses jalan.
“Dari informasi yang saya dengar karena masalah tidak ada tersedianya lahan dan akses jalan, jika benar itu problemnya-kan bisa dibahas bersama untuk mencari solusi. Di Batu Bua itu jumlah penduduknya banyak dan tentunya tingkat kebutuhan pelayanan kesehatan juga tinggi,” kata tuturnya
Tafruji merasa heran dan menyesalkan jika di Batu Bua dengan jumlah penduduk yang banyak hanya mendapatkan pelayanan kesehatanya hanya ada Posyandu saja.
“Tidak mungkin (posyandu) bisa menghandle semua kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat,” katanya bernada menyesalkan relokasi puskesmas tersebut.
Apa yang disebutkan politikus Fraksi PAN ini sesuai dengan kenyataanya. Faktanya pasca relokasi puskesmas tingkat pelayanan kesehatan di kelurahan batu bua 1 dan desa batu bua 2 turun drastis. Setingkat Kelurahan Batu Bua dengan jumlah penduduk mencapai ribuan yang ada hanya Pusat Pelayanan Terpadu (Posyandu) berukuran bangunan dasar tidak lebih dari 4 meter x 4 meter persegi dengan tenaga kesehatan lima orang terdiri dari bidan dan perawat.
Amanah konstitusi sebagaimana pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Hak atas Kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia. Sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pasal 25 yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan, kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya.
Kondisi ini layak menjadi perhatian semua pihak bahkan di tingkat pusat sekalipun. Terjadinya kesenjangan sosial dalam kehidupan masyarakat yang terbentuk dari sebuah ketidakadilan dirasakan baik secara personal maupun kelompok terutama bagi masyarakat Kelurahan Batu Bua yang sejak dua tahun lebih dijauhkan dari pelayanan yang menjadi hak asasi setiap orang, hanya atas dasar yang tidak begitu relevansi. ( Red-01 )