DAD Mura Angkat Bicara, Jelaskan Keberadaan Kayu Ulin Dalam Pembangunan Rumah Betang
Sekum DAD Mura, Drs. Herianson D. Silam “Jangan Kaku Dalam Memahami Perundang Undangan
Ketua II DAD Mura Bertho K.Kondrat, MT “Rumah Betang Merupakan Hak dan Sejarah Adat”
Liyando H. Hasibuan S.T., M.Kom “Berita Itu Tidak Aktual Tidak Berazaskan Sikap Netralitas “
Kadisdik Mura FERDINAN WIJAYA “ Tidak Semua Urusan Kontraktor Menjadi Ranah Kewenangan Saya “
Forumhukum.id – Puruk Cahu, Adanya pemberitaan disalah satu media online pada Selasa (16/5) mengusung materi berita penggunaan bahan material berupa kayu ulin diduga illegal dengan narasumber dari LSM pada pembangunan Lopo Betang Perdie M. Yoseph (PMY), mendapat rekasi dari DAD Kabupaten Murung Raya (Mura) dan berbagai kalangan lainnya.
Sekretaris Umum (Sekum) DAD Mura Drs. Herianson D. Silam mengatakan, makna penggunaan bahan baku kayu ulin pada pembangunan Lopo Betang PMY. Menurutnya, kayu ulin untuk kepentingan pembangunan betang (rumah panjang/rumah adat) yang sangat kental bernuansa adat tersebut.
“Kami dari DAD sendiri melihat bahwa kayu ulin yang dipungut dari hutan tersebut tidak sama sekali dapat dikatakan illegal, karena itu merupakan kayu adat,“ kata Herianson kepada forumhukum.id di Sekretariat DAD di Puruk Cahu, Rabu (18/5).
Dijelaskan Herianson, kebutuhan dan peruntukannya pun untuk pembangunan rumah adat yakni Rumah Betang dan bukan untuk diperdagangkan atau dijual keluar dari wilayah Kabupaten Murung Raya. Namun semata-mata untuk kebutuhan bangunan Rumah Betang.
Kata dia, semua pihak jangan kaku memahami peraturan perundang undangan, sepanjang persoalan itu semata-mata untuk kepentingan masyarakat, kepentingan adat demi tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Murung Raya.
“Saya rasa itu bukan problem yang mesti dibesar-besarkan. Hukum itu dibentuk untuk memberikan rasa kenyamanan, kedamaian dan kesejahteraan dan bukan untuk perpecahan. Itulah hakekat hukum itu sendiri dalam perspektif hukum adat,” kata Herianson.
Herianson berharap dengan adanya pembangunan Rumah Betang itu akan lebih menghidupkan nuansa nuansa adat di Kabupaten Murung Raya yang saat ini memang masih sangat kental dengan budaya dan tradisi, adat yang masih terpelihara hingga kini .
“Jika adanya oknum yang kurang memahami betapa penting dan strategisnya pembangunan Rumah Betang (identik dengan adat dan budaya) tersebut hendaknya lebih bersikap Arif dan bijaksana dalam melihat sisi kepentingan umum masyarakat adat dan masyarakat pada umunya di Kabupaten Murung Raya,” kata Herianson
Ia menambahkan, perlu jadi pelajaran bersama di mana momen pada 2006 lalu, ketika terjadi kelangkaan bahan baku kayu di Kabupaten Murung Raya. Salah satu penyebabnya dikarenakan kurang adanya kejelasan payung hukum di daerah dalam hal memenuhi kebutuhan bahan baku kayu untuk lokal.
“Saat itu, kebutuhan bahan kayu untuk orang duka (meninggal dunia) saja sangat sulit, hingga ke Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara untuk mendapatkan kayu,” terang Herianson sambal mengenang masa kelangkaan kayu ketika itu.
“Namun berbagai koordinasi dengan semua pemangku kepentingan di Mura, sehingga ada penyamaan persepsi dapat dilakukan mengingat kelangkaan kayu dapat membawa dampak buruk bagi kelangsungan pembangunan pemerintah maupun bagi masyarakat,” kata dia lagi.
Di ruang dan waktu yang sama, Ketua II DAD Mura Bertho K. Kondrat, M.T menambahkan, secara objektif Pemerintah melalui Peraturan Perundang Undangan memberikan kewenangan serta pengakuan atas hak-hak adat di mana pun keberadaan hukum adat itu masih hidup dan berkembang.
“Khusus bagi kita di Propinsi Kalimantan Tengah ini ada Peraturan Daerah ( Perda ) Provinsi Kalteng Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Masyarakat Adat Dayak,“ terang Bertho.
Berdasarkan bunyi pasal 36 dalam Perda 16/2008, pasal (1) menyebutkan hak – hak adat Masyarakat Adat Dayak Kalimantan Tengah adalah tanah adat, hak-hak adat diatas tanah, kesenian, kesusastraan, obat-obatan tradisional, desain/karya cipta, bahasa, pendidikan, sejarah lokal, peri boga tradisional, tata ruang dan ekosistem.
“Secara eksplisitnya Negara RI, melalui Pemprov Kalteng mengakui akan hal tersebut. Dan sebagai implikasi pemahaman pasal 36 adalah Rumah Betang merupakan wujud dari hak tradisional, desain, karya cipta serta sejarah lokal daerah kita “ terang mantan anggota Legislatif Murs di era awal Pemerintahan Kabupaten Murung Raya itu.
Penjabaran pemahaman dalam Perda Kalteng Nomor 16 tahun 2008, pasal 36 ayat (1) tersebut, analoginya bahwa Rumah Betang memang dibuat atau didesain sedemikian rupa berdasarkan desain pokoknya yakni mempergunakan bahan kayu Ulin.
“Rumah Betang itu memang dibuat dari bahan kayu Ulin,” tegas Ketua II DAD Mura itu.
Bertho K. Kondrat menerangkan menditail, berdasarkan Peraturan Gubernur Propinsi Kalimantan Tengah Nomor 13 tahun 2009 tentang Tanah Adat Dan Hak Hak Adat Diatas Tanah. Pergub tersebut sebagai turunan dari Perda No.16/2008.
“Oleh karena itu, mengapa rumah Betang itu harus menggunakan bahan dasar kayu Ulin? Sebab memang hal demikian sudah merupakan hak sejarah dan hak karya cipta budaya lokal. Jadi oleh sebab itu tidak perlu dipertentangankan,” tegas Ketua II DAD Bertho K.Kondrat, M.T.
Sementara ditempat terpisah Liyando Hermawan, S.T., M.Kom, salah satu anggota WAG Reformasi FH 2021 yang ikut menyimak isi konten berita media online yang menyebutkan indikasi dugaan penggunaan kayu ulun illgel, ikut memberikan tanggapannya.
Menurut Liyando, kesalahan penafsiran nama Ulin pada Peraturan Pemerintah itu nama lengkapnya Eusideroxylon Zwageri Teijsm & Binn kalau Teijam & Bin Ditinggal itu maka bakal muncul kesalahpahaman apakah Ulin yang digunakan Ulin Sumatra atau Ulin Kalimantan, karena ada 2 jenis.
Sementara dalam pemberitaan berita media online, lanjut Liyando, terkait narasumber merupakan kepala dinas, maka harusnya narasumbernya pejabat pengadaan atau juga pihak kontraktor pelaksana kegiatan proyek, kalau kepala dinas tentunya kurang mengena.
“Kan aneh karena beliau kadis tidak mengetahui apa apa, karena memang bukan job-desk-nya. Berita itu tidak aktual karena menyudutkan pemerintah dan tidak berazaskan sikap netral,” katanya.
Liyando menilai, pemberitaan itu termasuk indikasi pencemaran nama baik, kalau pemerintah tegas mungkin bisa digugat balik.
“Karena oknum LSM itu sendiri tidak memiliki bukti tentang itu, hanya dugaan mereka, dan tidak bertemu kepala proyek atau pejabat PPTK-nya, terus bilang berdasarkan pantauan kami itu gak ada izin. Itu agak aneh,” kata sambil menyatakan rasa heran.
Kepala Dinas Pendidikan Mura, Ferdinan Wijaya, menyesalkan atas sikap oknum wartawan tersebut yang kurang bijak menempatkan isi berita secara baik dan tepat bukannya asal berbicara langsung jadi konsumsi.
Menurut Ferdinan memaknai perkataan dirinya itu hanya sebagai logika yang tidak relevan. “Sebab apa yang ditanyakan kepada saya bukan ranah saya, jadi logika saja yang saya berikan dengan harapan bisa menjadi bahan pemikiran oleh yang bertanya,” katanya.
“Tidak semua urusan kontraktor itu jadi kewenangan saya, karena ada hal tertentu yang bukan menjadi ranah saya. Seperti mendapatkan sumber-sumber bahan material. Mendapatkan bahan material itukan hak mereka (rekanan) sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam rancangan acuan kerja. Semua ada job-desknya masing masing,” kata Ferdinand.
Ferdinan sangat menyesalkan, seharusnya dalam menjalankan tugas jurnalistik, mesti sesuai dengan etika, bukan melalui Panggilan WhatsApp tentu hasil konfirmasi itu sudah tidak seutuh konfirmasi yang dilakukan dengan tatap muka.
“Kantor saya bukan di tempat yang tersembunyi,” tutup Kadisdik Mura
Seluruh rangkaian angkat bicara mulai dari DAD Mura dan kalangan lainnya merupakan jawaban yang mestinya hal tersebut sudah ada dalam kerangka pemberitaan sehingga pemberitaan yang akurat dan kredibilitas justru akan memberikan penyajian informasi yang baik dan benar ke kalangan publik, bukan sebaliknya.
Namun semua itu tidak dilakukan dengan tuntas guna untuk mendapatkan pemberitaan yang akurat dan kredibel. (Tim Red-FH ) .